Israel-Palestina: Bukan Konflik Agama? | 2 |
Konflik Israel-Palestina akhir-akhir ini membuat saya berhubungan kembali via e-mail dengan seorang kenalan saya warga AS beragama Yahudi. Dalam obrolan singkat kami, saya sempat menyinggung pandangan ia sebagai seorang Yahudi terhadap perlakuan brutal militer Israel. Jawabannya sungguh menarik: Jika Anda menyamakan Zionisme dengan Yahudi, Anda sama saja menyamakan Islam dan Al-Qaeda. Teman saya ini boleh saja berkomentar. Namun komentarnya memicu imajinasi saya: Memang sebenarnya konflik Israel-Palestina bukan konflik agama! Sejenak tak ada salahnya kita melihat sejarah konflik Palestina-Israel. Tak ayal, ternyata sejarah Palestina menunjukkan bahwa isu konflik Palestina memang bukan isu agama.
Awal Zionisme (1920-1948)
Setelah merdeka dari Kekalifahan Utsmaniyyah (Ottoman) pasca-Perang Dunia I, Palestina menjadi daerah Mandat Kerajaan Inggris. Dimana Inggris menjanjikan kemerdekaan Palestina di kemudian hari, sebagai imbalan perjuangan bangsa Arab melawan Turki Ottoman. Di waktu yang bersamaan, datanglah imigran Yahudi secara massif dari Eropa. Gerakan migrasi besar-besaran ini (Aliyah dalam Bahasa Ibrani) digerakkan oleh sebuah gerakan politik bernama Zionisme. Zionisme, sebuah gerakan politik Yahudi Eropa, dipimpin oleh Theodor Herzl, Chaim Weizmann, dkk. Zionisme didirikan sebagai respons kaum intelek Yahudi terhadap perlakuan negara-negara Eropa pada warga Yahudi. Setelah 2.000 tahun, mereka merasa bangsa Yahudi harus memiliki tanah air tersendiri. Sekali lagi, Zionisme adalah geranakan politik, bukan agama. Oleh karena itulah, Zionisme lebih diterima di kalangan penganut Yahudi sekuler atau Yahudi freethinker. Kaum Yahudi Orthodoks (Tradisional), yang percaya bahwa Israel akan didirikan oleh seorang Messiah (seperti dalam ajaran Yahudi), kurang menerima konsep gerakan politik yang hendak mendirikan sebuah negara Yahudi! Inggris pun tak bisa bertindak tegas untuk membendung migrasi Yahudi ke Palestina, karena Inggris juga merasa berhutang budi dengan bantuan Chaim Weizmann dalam Perang Dunia I. Migrasi penduduk Yahudi mencapai puncaknya setelah Perang Dunia II selesai (1945). Zionis pun akhirnya berhasil mengusir Inggris dari Palestina dengan aksi terorisme, dan mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Zionisme adalah gerakan politik, bukan Yahudi.
Pendirian Negara Israel dan Pencaplokan Teritori Palestina (1948-1967)
David Ben-Gurion (1886-1973) menjadi Presiden Pertama Israel, dan mengungumkan wilayah teritori negara baru tersebut –yang jelas-jelas mencaplok teritori Palestina. Ia melancarkan ekspedisi militer yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dengan Palestina dan negara-negara Arab. Singkat cerita, terbentuklah batas Israel-Palestina yang kurang lebih terlihat seperti dalam peta masa kini. Namun, ketika garuis batas tersebut dibuat, komposisi etnis masing-masing teritori juga berbeda. Israel memiliki penduduk sekte Druze (pecahan dari Islam) yang mendukung keberadaan Israel, ditambah dengan penduduk Arab (Islam dan Kristen) yang masuk ke wilayah Israel. Beberapa warga Arab pun kini menjadi anggota Militer Israel (IDF)! Pun demikian dengan Palestina. Warga Arab Palestina pun memiliki afiliasi agama yang beragam, selain Islam, penduduk Palestina juga banyak yang beragama Kristen, entah Kristen Katolik, Orthodox, Anglikan, atau denominasi lainnya, mengingat Palestina adalah tempat penting dalam kitab Perjanjian Baru. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa baik Palestina maupun Israel merupakan negara dengan komposisi agama dan etnis yang beragam, bukan hanya terdiri dari Arab-Islam dan Yahudi saja.
Konflik Israel-Palestina (1967-sekarang)
Pasca Perang Enam Hari di tahun 1967, Palestina mengalami pertumbuhan gerakan kemerdekaan secara signifikan. Sebelum Hamas atau Fatah menjadi popular, salah satu gerakan yang paling besar saat itu adalah Popular Liberation Front of Palestine –dimana Yasser Arafat (1929-2004) pernah terlibat dengan organisasi ini. Usut punya usut, Popular Liberation Front of Palestine memliki ideologi yang terinspirasi dari Marxisme-Leninisme! Lebih lanjut, salah seorang pemimpinnya yang paling dikenal, George Habash (1926-2006) adalah seorang penganut Kristen Orthodox. Semuanya bersatu untuk memperoleh kemerdekaan Palestina –yang sayangnya acapkali dilakukan dengan cara-cara kekerasan, seperti Pembajakan Pesawat Lufthansa Penerbangan 181. Patut untuk diingat bahwa Yasser Arafat pun berafiliasi dengan pergerakan sekuler Palestina. Tidak peduli apapun agamanya, tujuan yang ingin dicapai Arafat adalah kemerdekaan Palestina bagi bangsa Palestina. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan usaha sekuler untuk mencapai kemerdekaan negara tersebut.
Penutup
Dari pemaparan sejarah ini, setidaknya kita bisa menyatakan bahwa perlakuan Israel terhadap Palestina merupakan sebuah pelanggaran HAM, bukan sebagai sebuah isu agama yang sempit. Apa yang terjadi di Palestina ini merupakan sebuah tragedi bagi kemanusiaan –tidak peduli agamanya, namun setiap individu yang memiliki hati nurani setidaknya harus melihat bahwa ini adalah sebuah tragedi. Toh tidak ada ajaran agama yang mengajarkan kekerasan kan? Selain itu, kita pun bisa memetik pelajaran bahwa persatuan adalah sebuah spirit perjuangan kemerdekaan yang sesungguhnya. Rasanya miris bila melihat Hamas-Fatah sampai bertempur hanya gara-gara perbedaan paham. Akhir kata, kita percaya bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
sumber: http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/07/10/israel-palestina-bukan-konflik-agama-663596.html
2 Responses So Far:
keren banget nih ulasannya
nice