Namanya Abdallah bin Said al-Bishi. Ia mewarisi profesi ayahnya sebagai algojo pancung bagi terpidana mati di Arab Saudi. Boleh dibilang ia merupakan algojo paling masyhur. Stasiun televisi dari Libanon, LBC TV, pernah menyiarkan wawancara khusus dengan Abdallah pada 4 November 2006.
Algojo seperti Abdallah inilah yang bertugas mencabut nyawa terpidana mati, termasuk Ruyati binti Satubi, yang dipancung Sabtu pekan lalu. Jumlahnya memang tidak diketahui pasti, setidaknya ada enam algojo yang ditunjuk Pemerintah Arab Saudi. Abdallah ditempatkan untuk Kota Mekkah.
Abdallah memulai tugas pertamanya pada 1991, sepekan setelah ayahnya, Said al-Bishi wafat. Umurnya waktu itu 32 tahun. Ia sempat terkejut setelah beberapa pejabat dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan surat pengangkatannya sebagai algojo. Hari pertama, ia langsung memancung tiga orang.
Dengan pedang bernama “Sultan” warisan ayahnya, ia mengaku gugup saat pertama memenggal kepala orang. Pedang Sultan berbentuk melengkung seperti bulan sabit dengan panjang setengah meter. “Tiap orang sedikit gugup saat memulai pekerjaan barunya dan takut gagal,” kata Abdallah. Hingga kini, ia mengaku telah memancung lebih dari 100 kepala.
Di masa kecil, Abdallah pernah menyaksikan ayahnya memenggal kepala seorang pembunuh di depan gerbang Raja Abdul Aziz. Ia datang bersama ayahnya karena ingin melihat organ pencernaan seperti yang ia pelajari di sekolah. "Namun, yang saya lihat kepala manusia melayang, dari lehernya ada pancaran darah seperti sumur dan kemudian jatuh. Cukup dan saya tak tahan lagi,” ujarnya. Malamnya, ia susah tidur dan sekali bermimpi buruk
Sesuai syariat Islam, Saudi menerapkan hukum pancung terhadap terpidana mati kasus pembunuhan. Eksekusi bisa batal jika keluarga korban memaafkan dan pelaku diharuskan membayar diyat (uang pengganti) yang ditetapkan oleh keluarga korban.
Menurut ahli psikologi dari Kementerian Dalam Negeri Saudi, Dr Turki al-Atyan, syariat Islam memerintahkan hukuman mati dilaksanakan dengan cara dipenggal, bukan digantung atau ditembak. Ia mengungkapkan Saudi pernah menerapkan hukuman mati dengan cara ditembak.
Untuk memuluskan tugasnya, Abdallah hanya memakai pedang produksi Jowhar karena terbuat dari besi keras yang tidak mudah patah dan memang khusus untuk memancung kepala. Jowhar adalah sebuah kota kecil di Somalia, sekitar 90 kilometer sebelah utara Ibu Kota Mogadishu.
Cara memenggal pun ada dua: horizontal dan vertikal. Masing-masing memerlukan pedang khusus. Ia menyebut “Qaridha” sebagai pedang spesialis pancung dengan cara vertikal.
Ayah tiga anak ini mengaku tidak merasa berbeda saat akan memancung lelaki atau perempuan. Bahkan, ia mengaku pernah memenggal kepala teman-temannya yang menjadi terpidana mati. “Perbedaannya, kadang pria (yang akan dipenggal) tidak bisa mengendalikan kegelisahannya sehingga bingung duduk atau berdiri,” ujar Abdallah.
Selain memenggal kepala, Abdallah juga melaksanakan hukuman potong tangan atau kaki. Bedanya, kalau pancung, korban tidak dibius sama sekali, sedangkan potong tangan dibius lokal.
Ia menegaskan syarat utama menjadi algojo penggal adalah tidak boleh merasa iba terhadap orang yang akan dipancung. “Jika saya merasa iba, ia akan menderita. Bila hati ini merasa kasihan, tangan bakal gagal,” katanya.
Boleh jadi, profesi sebagai algojo pancung seperti pekerjaan turun-temurun bagi keluarga Al-Bishi. Menurut Abdallah, putra sulungnya, Badr, sudah dilatih menjadi algojo dan akan diangkat untuk bertugas di Ibu Kota Riyadh.
sumber: TempoInteraktif.Com
0 Responses So Far: