Saudaraku, seringkali kita berpikir tentang kesalahan, keburukan dan aib orang lain. Seakan kita menjadi sengsara karena perilaku orang lain. Padahal tidak ada satupun yang menimpa kita melainkan buah dari perilaku diri kita sendiri. Tidaklah satu senyuman yang kita berikan kepada orang lain, kecuali kembali kepada kita. Tidak ada satu patah katapun yang kita ucapkan yang melukai hati orang lain, kecuali kan kembali kepada pembuatnya. Oleh karena itu jangan pernah menyalahkan siapapun jikalau hidup kita terpuruk; hidup kita seakan berat dan nestapa karena buah dari perbuatan kita sendiri. Tidak ada yang tertukar, semua perbuatan akan kembali kepada dirinya.
Orang yang beruntung akan berfikir sangat keras tentang dirinya setiap saat mengevaluasi apa yang telah diperbuatnya terhadap orang lain. Apakah saya ini seorang yang sombong? Apakah saya ini seorang yang suka menggunjing orang lain? Apakah saya seorang yang kikir? Orang yang beruntung adalah orang yang berjuang sangat keras untuk menemukan dirinya, karena bagaimana kita bisa merubah orang lain kalau kita tidak pernah berusaha merubah diri sendiri?
Kita harus mulai sadar bahwa semakin hati penuh kesombongan, hati suka pamer, berprasangka buruk, penuh kedengkian, kebencian, semakin diri kita rugi. Waktu kita akan habis dipakai untuk memikirkan orang yang kita dengki, sehingga tidak lagi produktif. Sungguh berbahagialah mereka yang lapang dan ikhlas, yang selalu memandang setiap kejadian dengan pikiran dan sikap positip.
Saudaraku, marilah kita belajar bijak menyikapi kesalahan dan kekurangan orang lain, sebagaimana kita pun ingin diperlakukan hal yang sama ketika melakukan kesalahan. Orang yang baik bukan yang tidak pernah melakukan kesalahan, orang yang baik adalah orang yang segera sadar, memohon ampun dan bertaubat ketika melakukan kesalahan seraya bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang serupa. Sebab, siapapun tentu berpotensi untuk berlaku salah. Istri, anak, tetangga, teman kantor atau atasan kita sekalipun memiliki kemungkinan untuk melakukan kesalahan.
Sikap yang harus kita lakukan ketika mengetahui orang lain berbuat salah adalah Tanya pada diri kita, apa yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat kesalahan yang sama? Tentu saja, kita sangat berharap agar orang lain tidak marah kepada kita. Kita pun berharap agar orang lain bisa menegur kesalahan kita dengan cara yang baik. Atau, kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dengan kesalahan kita dan memaafkan kita. Kita tentu tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum akibat kesalahan kita. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa bertanggung jawab dengan apa yang telah kita lakukan. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah kita malah mencacinya, menghina dan menghukumnya denga tidak adil?
Saudaraku, andai suatu ketika kita jumpai orang melakukan kesalahan, hal pertama yang harus kita lakukan adalah bertanya, apakah orang tersebut tahu atau tidak bahwa dirinya salah? Sebab, adakalanya orang berbuat salah, bukan karena ingin berbuat salah, tetapi karena dirinya tidak mengerti bahwa hal yang dilakukannya itu salah. Contoh sederhana, ada seorang wanita dari pelosok desa yang merantau ke kota dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran di kamar mandi, toilet dan wastafel tidak ditutup sehingga airnya meluber dan terbuang percuma. Mengapa? Karena air pancoran tempat mandi di desanya tidak ada yang memakai kran sehingga tidak pernah ditutup. Di tempat tinggalnya air masih begitu melimpah. Nah disini nampaklah bahwa tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu masalah pun berbeda. Jadi, kalu ada orang yang berbuat salah, tanyalah dahulu apakah dia tahu atau tidak bahwa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan.
Seandainya dia belum tahu kesalahannya, tentu kewajiban kita untuk member tahu dengan santun, bukan memarahi, memaki dan bahkan berbuat aniaya. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya berbuat salah, seperti halnya bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita? Tidak ada salahnya kita belajar dari tata nilai dan latar belakang seseorang dan tidak sombong manakala ternyata kita memiliki wawasan dan pengalaman lebig dari orang lain. Justru dengan pengalaman dan wawasan yang kita milikilah seharusnya kita mampu membantu meluruskannya dengan bijak.
Ada juga orang yang sadar bahwa perbuatannya salah, tetapi tidak tahu jalan keluarnya. Maka, posisi kita adalah membantu orang tersebut agar menemukan jalan keluarnya. Namun, kita juga harus hati-hati dalam memberikan bantuan agar jangan sampai ia bergantung kepada bantuan kita., sehingga hilang kreatifitasnya dalam menyelesaikan masalah.
Setelah itu, bantu orang yang berbuat salah agar ia tetap semangat memperbaiki kesalahannya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina dan mempermalukan. Kita harus sadar bahwa anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita – kenapa kita harus penuh kebencian membicarakan kejelekannya? Tidak selayaknya kita berlaku tidak adil.
Ingat, rumus menyikapi kesalahan orang lain adalah berusaha membantu agar orang yang melakukan kesalahan mengetahuinya, membantu agar ia tahu cara memperbaikinya, membantu agar memiliki kemampuan dan semangat dalam memperbaiki kesalahannya. Wallahu a’lam
0 Responses So Far: