Jika Menjadi Muslim adalah Penjahat?

Nasib masyarakat muslim di Negeri Paman Sam masih juga tragis. Kali ini, sejumlah legislator dari Negara Bagian Tennessee tengah berupaya meloloskan sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang akan memperketat batasan lebih luas terhadap masyarakat muslim. Berdasarkan RUU tersebut, praktek muslim terhadap sejumlah hukum syariah dianggap sebagai tindak kriminal.

Ron Mueck | Pematung Hyperrealist Yang Menakjubkan

Ron Mueck adalah pematung hiper-realis asal Australia yg bekerja di UK. Patung yang luar biasa menakutkan, mengerikan, bintik-bintik kulit dan proporsional, tokoh raksasa, telah menghiasi Millennium Dome serta ruang tamu Charles Saatchi untuk beberapa tahun lalu. Akan adil untuk mengatakan, Mueck adalah salah satu seniman kontemporer terkemuka hari ini.

Hajar Aswad, Batu Paling Tenar Sejagad

Batu adalah elemen alam yang keberadaannya seringkali diabaikan. Namun, batu bisa jadi sangat menarik. Baik dari sisi keindahannya, nilainya yang berharga, atau fungsinya yang integral dengan kehidupan manusia -- yang menggunakannya untuk mendirikan bangunan atau alat. Tak sekedar itu, batu juga bisa berkaitan dengan sejarah dan sisi spiritual manusia. Setidaknya ada enam batu yang memiliki kisah tersendiri.

Radikalisme, Fanatisme dan Kekerasan

Sejak peristiwa 9/11 yang hingga saat ini banyak diragukan sebagai aksi tunggal kelompok Al-Qaeda, di seluruh dunia dan khususnya di dunia Islam berkembang istilah radikalisasi agama yang dianggap sebagai penyebab menjamurnya terorisme. Meski berbagai media massa barat telah menyepakati untuk mempropagandakan Al-Qaeda sebagai musuh bersama umat manusia, namun terasa banyak kejanggalan dimana dalam periode tertentu akhirnya apa yg dipropagandakan sebagai musuh bersama itu ternyata sangatlah lemah baik dari sisi kemampuan maupun teknologi sehingga nyaris mustahil sebagai agen tunggal pelaku tindak terorisme di berbagai belahan dunia.

“Bus Force One” Obama : untuk menjelajah pedalaman Amerika.

Menurut informasi bus tersebut dengan sandi 'Stagecoach' ada juga yang menyebut ‘Bus Force One’ ataupun 'Ground Force One'. Body bus atau karoseri dibuat oleh perusahaan ‘Prevost’ Kanada sedangkan interiornya digarap oleh ‘Hemphill Brothers Co’ yang berlokasi di Nashville, Tennesse. Biaya pembutan bus tersebut mencapai $ 1,1 juta USD tapi harus dikalikan dua karena sekaligus memesan dua bus. Hemphil Brothers Co, selama ini dikenal juga membuat bus safari untuk artis-artis seperti Beyonce dan Aerosmith.

Intelijen Facebook 0

Binyo Wayang | 21.32 |

Kita tidak kemana-mana, tapi kita ada dimana-mana”. (Semboyan Intelijen Indonesia)
Cerita klasik manusia berwajah tiga atau the spy with the three faces karya Hans-Otto Meissner 1968, mengungkapi kehebatan jejak seorang spionase yang menjadi arsitek Perang Dunia II. Kawat informasi politik dan militer yang dilaporkannya memicu ketegangan diantara negara fasis, komunis, dan imperialis. Ketika bekerja di Tokyo, Jepang, Meissner menjadi agen spionis kepercayaan Stalin, dan sekaligus orang kepercayaan Hitler dan juga PM. Hideki Tojo.
Sebagai seorang diplomat Jerman, Meissner telah bekerja diberbagai negara-negara eropa dan juga asia, seperti London, Moskow, Milan, Tokyo, dll. Karenanya, tidak salah jika karir diplomatiknya bertaut langsung pada karya novel Nya itu. Bukan hanya Meissner, tetapi juga V.I.Vetrov, Walter Schellenberg, Rudolf Hess, Jasques Cousteau, Amy Elizabeth Thorpe, Dennis Wheatley, adalah agen spionase yang bekerja diantara Negara Poros dan Negara Sekutu yang piawai membuat Perang Dunia II menjadi perang intelijen dimasa itu.
Pengorbanan adalah prinsip utama dunia intelijen. Mereka mencemplungkan diri kedalam konflik secara langsung -meski dengan latar sejarah berbeda- sampai saat ini, cerita itu terus terjadi. Misalnya Anna Chapman dan Julian Asange yang baru-baru ini terlibat dalam pembocoran kawat-kawat diplomatik Amerika Serikat. Sialnya, di negeri sendiri, tidak ditemukan cerita sukses semacam itu, kecuali intelijen lokal yang jadi korban intelijen asing.
Phobia Informasi
Masalahnya kini memang meliputi ekspansi informasi yang bertukar cepat dari satu ruang ke ruang lain akibat revolusi teknologi komunikasi. Fenomena teknologi komunikasi seakan menghilangkan batas-batas negara (cyberworld) dan fakta. Globalisasi informasi membuat kita seolah berada di jalan raya tak bertepi dan tanpa ujung kata Henry Rerrit (1996). Bahkan juga bisa menciptakan kekuatan baru yang berada diluar kontrol negara (state), atau apa yang disebut George Owel (1984) bekerjanya “kekuatan misterius”.
Setiap orang bisa memproduksi informasi tanpa batas dalam dunia facebook -mewakili dunia maya. Dunia maya menimbulkan rasa phobi pemerintah, seperti kasus Cicak versus Buaya, kasus Prita Mulya Sari, ataukah ancaman protes di Timur Tengah yang menyebar di Internet.
Media alternatif (seperti facebook) dianggap benalu bagi kekuasaan yang membutuhkan stabilitas. Berkuasanya kekuatan misterius (invesible hand) dinilai kurang sejalan dengan keberadaan geopolitik negara (irrelevance of nation state) yang memiliki sekat politik dari negara lain. Disisi lain, negera sebagai alat coersif yang memiliki aparatus dan hukum rust en orde, terancam mengalami disfungsi dalam melindungi kepentingan klas dominan.
Pemerintah seakan kehilangan intrus politiknya ketika banyak orang mulai menggunjingi kebijakannya di dunia facebook. Dan facebook  menjadi ruang “mobilisasi politik” yang cukup produktif dalam mengcounter setiap produk politik. Maka dari itu, dengan endorse Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen yang baru, pemerintah SBY-Budiono hendak “memotong jari” 12 juta faceebooker Indonesia.
Terlebih lagi bila RUU Intelijen ini memberikan kewenangan intersepsi, yaitu membolehkan kegiatan penyadapan telepon dan faksimile, membuka e-mail (termasuk twitter dan faceebook), pemeriksaan surat, pemeriksaan paket tanpa melalui penetapan Ketua Pengadilan (Vide pasal 31 ayat 1). Kewenangan badan intelijen yang berkedudukan dibawah Presiden bisa menjadi yang bersifat kontra-produktif dengan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan supremasi hukum.
Artinya, kegiatan Badan Intelijen Negara (BIN), sepertinya akan lebih banyak digunakan untuk menguping pembicaraan dan mencek facebook atau twitter. Namun, berita apa yang diharapkan dari dunia maya, jika yang diproduksi adalah dunia ide dan opini.
Intelijen Lokal
Tentu saja, slogan yang disebut dimuka, mewakili adigum intelijen pemalas yang hendak merealisasikan dirinya ada dimana-mana dengan sekedar nongkrong di depan facebook. Cukup dengan membuka facebook, seorang intelijen bisa berselancar ke negara mana saja melalui jejaring facebooker.
Tidak seperti intelijen asing yang kebanyakan profesi kerjanya di level eksekutif, militer, partai politik, teknisi, untuk menginput informasi dari negara-negara luar. Intelijen lokal lebih banyak menguntit informasi dari dalam negerinya sendiri.
Sungguh sangat disayangkan bila intelijen lokal terfokus di depan facebook. Sebagai media online gratis, maka facebook (dan lainnya) digunakan bagi komunikasi sederhana dalam perkawanan. Karena pertukaran informasi rahasia tidak akan menggunakan saluran ini. Selain itu, pihak “lawan” juga mengembangkan sistem komunikasi yang lebih maju dan membuat puyeng intelijen kita untuk menebak-nebak yang tidak-tidak. Tidaklah mengherankan jika informasi yang disajikan intelijen lokal adalah informasi sampah yang menyangkut, konflik interes, kelompok oposisi, jaringan politik, dan sebagainya.
Kepentingan intelijen untuk celingak-celinguk didepan facebook mungkin terkait dengan doktrin prajurit intelijen yang mengajarkan konsep perang pikiran. Perang pikiran adalah cara memproduksi informasi sesat yang mengarahkan pikiran publik untuk tujuan keintelijenan.
Cara kerjanya begitu nampak ketika menangkal isu-isu yang memojokkan pemerintah. Berbagai metode diendus untuk pengalihan isu. Ketika berita korupsi berhembus dari dalam istana, bom buku justru gempar dimana-mana, begitu pula dengan lusinan kasus sebelumnya.
Sejak semula, intelijen lokal merupakan hasil produksi Kempetai dan Tokko-koto, yang belajar strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah untuk memberantas protes rakyat pada pemerintah Jepang. Begitu pula dalam masa Orde Baru,  Komando Intelijen Negara (KIN) yang dibentuk masa itu punya pengalaman kerjasama dengan CIA dan M16 dalam menggulingkan Soekarno, fungsinya lebih banyak mereproduksi penyesatan informasi (misinformation).
Paska perang dingin, Amerika Serikat mensponsori kudeta-kudeta militer seperti yang terjadi pada pemerintahan Soekarno di Indonesia, Ferdinand Marcos di Filipina, Salvador Allende di Chili, dan sebagainya, memanfaatkan intelijen dan kekuatan militer. Paska kudeta, kekuatan itu digunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan asing.
Mengutip pandangan Noam Chomsky, bahwa media berfungsi sebagala pabrik konsesus (manufacturing consent) yang dihasilkan melalui sistem filterisasi untuk melindungi kepentingan korporasi asing dan bisnis, penguasa/pemerintah, dan anti komunis, maka, untuk itulah intelijen kita bekerja.
Masalah Nasional
Pemerintah selalu bersembunyi dibalik isu ancaman terorisme. Isu terorisme sendiri dipakai oleh AS untuk menjaga hubungan imperialisme dengan negara miskin. Negara miskin seperti Indonesia dipaksa untuk menerima resep ekonomi dan kerjasama militer serta kebijakan anti teroris. Padahal, banyak dari kasus terorisme justru hanya menjadi media pencitraan. Misalnya, berita SBY yang menjadi target penembakan teroris didramatisasi untuk mengemis simpati, karena terorisme di Indonesia justru menyerang fasilitas asing atau anti-barat.
Analisis intelijen kita begitu lemah, ketika ramai bom buku, disimpulkan pula bahwa pola serangan teroris telah berubah -seperti mencupit kata-kata pengamat teroris- padahal tidak disertai dengan pengungkapan data fakta dan analisi intelijen sendiri. Tidak keliru jika pengamat intelijen Mardigu WP mengatakan, bahwa 80 persen terungkapnya kasus terorisme di Indonesia bukan karena kecanggihan intelijen, namun karena informasi masyarakat. Masyarakat dinilai lebih awas terhadap tindakan mencurigakan seperti terorisme, ketimbang intelijen.
Hal yang penting untuk diingat bahwa kontribusi intelijen kita lebih banyak mengurusi persoalan internal ketimbang ekseternal. Intelijen kita belum punya prestasi yang baik bagi kepentingan nasional dan rakyat. Misalnya terhadap pembocoran teknologi negara lain, kepentingan politik asing, kepentingan korporasi asing, pengembalian dokumen nasional yang dicuri Belanda, dll,  yang berhubungan langsung dengan kedaulatan nasional dan bangsa.
Kebanyakan informasi yang dipublis hanya dipersempit mengenai ancaman terorisme dan kekuasaan belaka atau ancaman yang dibuat-buat semata. Tidaklah aneh jika kekayaan sumberdaya alam nasional kita, kekayaan budaya, indsutri, dicuri asing.
Semestinya pemerintah tidak perlu khawatir dengan leadakan informasi di dunia maya. Karena, ancaman yang sesungguhnya datang dari dunia nyata, khusunya kebijakan eksternal (asing) yang hendak mengurangi peranan negara dalam mengontrol sumberdaya nasional. Kepentingan asing yang diselubungi agenda globalisasi sesungguhnya yang membawa misi penjajahan ulang atau Neokolonialisme menurut isitilah Bung Karno.
Neokolonialisme atau neoliberalisme menghendaki negara-negara miskin seperti Indonesia harus mengikuti resep dari negara-negara maju. Misal dengan orientasi ekspor bahan baku mentah, impor barang asing, tenaga kerja murah, pencabutan subsidi, penghapusan pajak industri, propatisasi BUMN, komersialisasi sektor publik, utang, dll, yang diterapkan oleh negara industri terhadap negara agraris, dengan begitu Indonesia tetap ketergantungan terhadap control asing.
Bahkan, untuk menggungat konsitusi Belanda yang masih mencantumkan Indonesia secara yuridis sebagai negara jajahannya, pemerintah justru kehilangan taring dan keberanian. Yang pasti, intelijen kita akan bertambah tumpul di depan komentar facebooker yang ketawa-ketiwi, hehe-haha di depan monitor.
Sepertinya intelijen kita menyembunyikan fakta, bahwa bangsa ini tengah mengalami penjajahan baru, karena semua fakta tentang perjanjian WTO, FTA, WB, IMF, ADB, dan berbagai perjanjian yang merugikan, justru berasal dari kalangan aktifis gerakan dan akademisi yang peduli bangsa.
Dengan banyaknya agenda subversi asing dibidang politik, ekonomi, sosial, agama dan budaya yang semakin masif, bukan tidak mungkin agen intelijen kita, semuanya adalah agen asing yang dikontrol uang dan spionis ulung seperti Otto Meissner.

Related Post



0 Responses So Far:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Obrolan Warung Kopi Copyright © 2011 This Blog is Created by Binyo Wayang Home | RSS Feed | Comment RSS